The Journey from Daeng City



A.  Perjalanan Menuju Kota Daeng
    Rabu 02 September 2015 tibalah saatnya saya untuk melakukan sebuah perjalanan pendidikan yang diamanahkan oleh lembaga pendidikan tempat saya bertugas di SDIT Fitrah Hanniah Cibitung Bekasi. Perjalanan ini semestinya dilakukan oleh Ibu  Susi Susanti. S.Si selaku Kepala Sekolah Periode Tahun Ajaran 2015 / 2016, namun karena sesuatu dan lain hal beliau tidak dapat mengikuti perjalanan ini dan mengamanahkan kepada saya untuk menggantikan beliau tentunya dengan persetujuan Ibu Chaerunnisa. SP. M.Ak selaku Direktur Pendidikan SIT Fitrah Hanniah dan Ulil Albab yang selama genap enam tahun saya bergabung di lembaga pendidikan yang beliau pimpin dan kelola, telah banyak memberikan pengalaman, pendidikan dan pelajaran hidup khususnya bagi diri saya pribadi. Terlepas dari semua tentunya takdir Allah SWT yang akhirnya membawa saya pada sebuah masa yang nanti bisa saya ceritakan pengalamannya pada rekan guru , anak cucu dan para peserta didik saya dikemudian hari. Terimakasih atas kasih sayang –Mu Ya Allah.
     Tepat pukul 01. 30 dini hari saya mulai berkemas, sengaja saya berkemas selagi putri kecil saya tercinta sudah lelap dalam tidurnya. Walaupun sudah disampaikan jauh hari tentang perjalanan ini, tetap saja saya akan melihat ketidak nyamanan di raut wajahnya karena perjalanan kali ini adalah perjalanan terjauh saya selama enam tahun terakhir di Fitrah Hanniah. Selesai saya memasukan semua keperluan saya selama perjalanan kedalam koper, tak lupa saya sungkem pada sang Pencipta diri yang lemah ini, agar tetap dalam perlindungan-Nya sampai selesai menunaikan amanah ini. Mulai kubangunkan putriku untuk berpamitan, dengan kantuknya dia melepasku, suamiku mengantarku sampai sekolah tempat kami berkumpul sebelum keberangkatan kami. Angin dingin dini hari mengiringiku menjemput sepenggal pengalaman yang akan kembali melengkapi bagian dari cerita hidupku.
Semua sudah berkumpul ada Bapak Sarbini dan Ibu Nia selaku yayasan Fitrah Hanniah yang akan menemani kami dalam perjalanan ini, ada Pak Sukmadi mewakili SMK Fitrah Hanniah, Pak Win, Pak Yogas dan Bu Tya mewakili SMP Ulil Albab, Bu Yayuk mewakili Kiddy Place FH, Bu Tuti selaku sekertaris, Umi Fachri selaku yayasan Ulil, Bu Wiwik dan saya mewakili SDIT FH. Kami terbagi menjadi dua rombongan menuju Bandara Soekarno Hatta tepat pukul 03. 12 dini hari kami mulai bergerak, rencananya kami terbang menuju Makasar pukul 05.00 dengan penerbangan Lion Air JT 792 dan akan sampai di Makasar pukul 08.25. Kami akan bertemu  Bu Nisa dan rombongan lainnya dari Cordova Cikarang di bandara. ‘The First Flying for Me, amazing’
    
                                         Gambar saat penerbangan pertama saya dimulai tepat pukul 05.00 dini hari diambil dari sisi jendela tepat disamping tempat duduk saya.


     Pengalaman terbang pertama saya, tempat duduk saya terpisah dari rombongan rekan guru FH, duduk tepat  dibagian sayap sebelah kiri pesawat bernomor bangku 15B, ada rasa gugup yang tak bisa saya gambarkan, lucu mungkin bagi sebagian orang, namun bagi saya luar biasa ,saatnya menenangkan diri sendiri .
     Lampu - lampu kota yang saya tinggalkan mulai terlihat kecil dan meredup dibawah sana, sesaat guratan merah mulai terlihat, masyaallah gambaran lukisan alam tiada tandingan karya sang maha pencipta seluruh alam, kumpulan awan putih menemani sepanjang perjalanan, inilah kali pertama saya dapat menunaikan waktu dhuha dan melantunkan almatsurat pagi saya di angkasa, Subhanaallah, Alhamdulillah, Allahu akbar.
    Pesawat sebentar lagi mendarat, ayunan pesawat  kurang ramah terasa diperut saya namun saya coba berdamai dengan ketidak nyamanan ini sekuat tenaga, jujur saya sedikit panik khawatir tidak dapat menahan kondisi ini, maklum layaknya orang desa yang jarang berkendaraan. Alhamdulillah Allah masih menguatkan saya, tepian pulau Celebes mulai terlihat, hamparan tambak- tambak, sawah tadah hujan dan atap seng berkilauan tertimpa sorot sang surya dipagi hari, selamat datang ‘Kota Daeng’ tiga hari kedepan saya akan bercengkrama dengan keindahan alam dan budaya masyarakatmu.
     Bandara Sultan Hasanudin Makasar pagi hari pukul 08.25 WITA. Rombongan kami mulai menjejakan kaki di Pulau  Celebes.
    




   Tujuan perjalanan kami akan mengunjungi SIT ALFityan  Gowa Makasar dan mengenal tiga suku besar di Sulawesi yaitu  Bugis, Makasar dan Toraja. Sejenak istirahat untuk sarapan pagi di area kedatangan Bandara Sultan Hasanudin sebelum rombongan kami melanjutkan perjalanan. Sesaat kemudian datanglah tourist guide kami yang akan menemani selama perjalanan, Pak Umar sopir travel yang kemudian kami mengenalnya, Daeng Mursyid yang kemudian mengenalkan lebih dekat indah dan ragamnya budaya tanah Celebes dan seorang lagi Daeng fuad membantu dalam perjalanan kami, walaupun sosoknya hanya banyak diam sehingga kehadirannya kadang tidak disadari oleh kami.
     ‘The journey come beginning’
   


B.  Monumen Cinta Sejati Habibie dan Ainun Parepare

     Sejenak melepas lelah, Rabu pagi 02 September 2015 rombongan kami melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja, kami diberi tahu kira- kira lama perjalanan akan memakan waktu kurang lebih sepuluh jam, terbersit tanya nyamankah nanti selama perjalanan mengingat saya pribadi belum pernah berkendara dalam waktu yang cukup lama, seperti biasa saya berusaha untuk selalu ‘ positive thingking ‘ dan berusaha menikmati perjalanan walaupun sempat diawal perjalanan perut ini masih harus berjuang untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada sampai kami berhenti sejenak di Indomart Maros untuk membeli makanan kecil bekal diperjalanan. Wisata kuliner yang dikenalkan pada kami dikawasan ini adalah kue ‘Dange’ para tourist guide menyebutnya kue ‘dangger’ atau  kue ‘bahaya’ dalam arti Indonesia, cukup unik dan membuat penasarankah ?.
    Daeng Mursyid panggilan saya untuk tourist guide kami memiliki karakter supel dan riang sehingga bisa menciptakan suasana perjalanan rileks, nyaman dan cukup menyenangkan, ditambah dengan pengetahuannya yang luas tentang tanah kelahirannya baik dari segi adat istiadat,  budaya, bahasa, wisata sampai kuliner, kesepakatan pertamanya dengan kami dimulai dari sebuah cerita yang up lucu dan menarik , sampai akhirnya tercetus kesepakatan kami rombongan untuk mengucap pass word ‘Terasa” jika ada diantara kami yang berkebutuhan kekamar kecil, cerita lucunya bisa pembaca cari tahu pada salah satu dari kami sebagai peserta rombongan perjalanan pendidikan ini. Be anxious to do or find out.
    
Tambak- tambak sepanjang
Maros menuju Parepare





Pantai biru sepanjang perjalanan menuju Parepare

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
Semilir angin laut menemani
 perjalanan kami




 

Menikmati indahnya lukisan Allah SWT


                                                                         

      Mulailah catatan perjalanan ini saya tulis berawal dari kota Parepare, kota kelahiran Pak Habibie tokoh terkenal dinegri ini, sebagai sumber informasi kami Daeng Mursyid sangat piawai dan tidak  membosankan dalam menyampaikan informasi yang perlu kami ketahui, “ buku agenda orange Fitrah Hanniah” menemani saya dalam perjalanan, mencatat semua hal unik dan menarik yang perlu saya ketahui sehingga deskripsi perjalanan pendidikan ini dapat dibaca oleh para rekan guru lain yang belum berkesempatan melakukan kunjungan pendidikan ini khususnya dan seluruh civitas akademika Fitrah Hanniah pada umumnya.
     Di awal perkembangannya, perbukitan yang sekarang ini disebut Kota Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung) hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
     Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan, sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
     Kata Parepare ditenggarai sebagian orang berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto Karaeng Tunipallangga (1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan, Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan Suppa.
     Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna " Kain Penghias " yg digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata Parepare terdapat dibeberapa tempat diantaranya pada jilid 2 hal [62] baris no. 30 yang berbunyi " pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN PENGHIAS depan istana sudah dipasang).
Melihat posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
     Secara geografis Kota Parepare terletak di sebuah teluk yang menghadap ke Selat Makassar. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Meskipun terletak di tepi laut tetapi sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit. Kota Parepare bisa dicapai dengan transportasi darat atau laut. Parepare terletak di jalur utama lalu lintas ke Sulawesi Barat, Tana Toraja dan Palopo. Pelabuhan Nusantara menghubungkan Parepare dengan kota-kota di pesisir Kalimantan, Surabaya dan kota-kota pelabuhan di Indonesia bagian timur. Parepare juga merupakan pelabuhan bagi orang - orang di daerah Ajatappareng.
      Masyarakat Makasar pada umumnya dalam berbahasa selalu berimbuhan “ –ng” pada kata yang berakhiran ‘huruf N ‘  misalnya hujan menjadi ‘hujang’, makan menjadi ‘makang’, ikan menjadi ‘ikang’ dan modern menjadi ‘moderng’ terdengar unik, lucu dan menarik tak jarang selama perjalanan kami tertawa bersama jika mendengar guide kami keseleo lidah dalam berkata- kata dan akhirnya guide kami selalu berkata ‘ maaf karena kami sudah moderng’.
     Ada sesuatu unik yang saya temui ketika memasuki kota Parepare, ya ‘Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun’ berdiri anggun dipusat kota. Begitu besar penghargaan masyarakat Parepare terhadap pribadi Habibie, putra negri yang telah banyak memberi manfaat pada Negara dan bangsanya.

Monumen cinta sejati Habibie Ainun Parepare



     Akhirnya tibalah saatnya kami beristirahat untuk makan siang dan shalat, sebelum kami melanjutkan perjalanan kami.

 
C.  Gunung Nona ( Buttu Kabobong ) Enrekang

          Menjelang pukul 17.08 kami sudah memasuki Kabupaten Enrekang tepatnya di kawasan rest area gunung nona, kembali kami disuguhi Kebesaran dan Keagungan ciptaan-Nya. Masyaallah.

Gambar berlatar belakang gunung
Nona di kabupaten Enrekang
bersama Bu Titin, Tim dari
SIT Cordova Cikarang






     Ditemani dinginnya angin pegunungan kembali Daeng Mursyid menyampaikan informasi tentang daerah yang kami singgahi ini, tak kalah juga semangatnya Ibu Nisa untuk menunjukan langsung posisi gunung nona pada kami, diraut mukanya terbersit kebanggaan akan keindahan dan keunikan tanah kelahirannya.
    Buttu Kabobong atau Gunung Nona adalah nama sebuah gunung unik yang terletak di Kabupaten Enrekang. Tepatnya di poros jalan dari arah Rappang, Kabupaten Sidrap. Dikatakan unik karena bentuk gunung ini menyerupai alat reproduksi wanita dan dipastikan hanya satu-satunya di dunia. Selain unik dan penuh daya tarik, gunung ini juga ternyata punya legenda yang secara turun temurun menyisakan berbagai versi, namun pada prinsipnya mengandung makna yang sama, yakni pesan moral dari para leluhur setempat tentang pantangan keras untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Kisah di bawah ini adalah salah satu versi yang dihimpun dari berbagai sumber sebagaimana berikut
     Pada zaman dahulu kala, di kaki Gunung Bambapuang terdapat suatu kerajaan tua yang bernama Kerajaan Tindalaun. Sementara di dalam kerajaan itu sendiri terdapat sebuah perkampungan kecil yang juga dinamai Tindalun. Konon pada suatu ketika, datanglah seorang yang disebut To Mellaorilangi’ (orang yang turun dair langit) atau yang dalam istilah lainnya disebut To Manurung di Kampung Tindalun yang terletak di sebelah selatan Gunung Bambapuang tersebut. To Manurung ini juga menurut riwayatnya konon datang dari Tangsa, yaitu sebuah daerah di Kabupaten Tana Toraja. Mulanya, di Tangsa ada seorang ibu muda cantik bernama Masoang yang mempunai lima orang anak. Entah karena apa, kelima anak Masoang itu terbagi-bagi. Yakni dua orang ke Tana Toraja Barat, dua lainnya tinggal di Tangsa, kemudian yang satu orang lagi dianggap menghilang karena kepergiaannya tidak diketahui.
     Beberapa hari kemudian tak jauh dari sebuah perkampungan, pada suatu malam, masyarakat Tindalun melihat ada seonggok api yang menyala seolah tak ada padamnya. Karena didorong rasa keingitahuan, masyarakat lalu mencoba mendekati sumber nyala api tersebut. Dan ternyata, tak jauh dari situ ada anak laki-laki yang rupawan, ganteng serta kulitnya putih bersih. Bahkan menurut penilaian masyarakat Tindalun ketika itu, selain ganteng , anak itu juga memiliki ciri sebagia anak To Malabbi’. Karenanya, si anak yang tidak diketahui asal usulnya itu lalu diambil dan dibawa ke Kampung Tindalun. Boleh jadi anak inilah yang disebut sebagai To Manurung.
     Ringkas cerita, ketika si anak lelaki tersebut menginjak dewasa, ia lalu dikawinkan dengan salah seorang putri raja Kerajaan Tindalun yang sangat cantik. Di mana setelah pesta perkawinan yang semarak dan yang dilaksanakn secara adat istiadat setempat itu, masyarakat pun secara spontan lalu membuatkan sebuah istana baru bagi pasangan ini. Karena menganggap perkawinan itu adalah penyatuan dari anak seorang raja dengan To Mellaorilangi’ atau To Manurung.
     Selanjutnya dari perkawinan itu, lahirlah putra mereka yang diberi nama Kalando Palapana, kemudian dinobatkan sebagai Raja Tindalun. Dia memerintah beberapa perkampuangan di situ.
     Seperti diketahui, Tindalun ini merupakan wilayah yang ketika itu amat kaya dengan sumber daya alamnya. Setiap musim panen, masyarakat sangat bersuka ria karena hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah. Itu sebabnya kehidupan masyarakat Tindalun rata-rata makmur dan sejahtera. Cuma sayangnya, kondisi inilah yang membuat mereka lantas lupa diri. Suasana hura-hura nyaris tak terlewatkan setiap saat. Bukan hanya itu, konon karena kekayaan yang dimiliki, perangai masyarakatpun banyak yang mulai berubah.
     Tatanan perilaku yang selama ini sangat menjunjung tinggi budaya dan adat istiadat leluhur, mulai bergeser. Kehidupan pergaulan bebas pun kabarnya sempat mewarnai hari-hari mereka. Dengan kata lain, perubahan strata ekonomi yang begitu pesat ketika itu, menjadikan masyarakat Tindalun seolah lupa dengan jati dirinya.Lalu bagaimana dengan Raja Kalando Palapana atas kejadian itu?, tentu saja sangat gusar. Raja muda ini kemudian memanggil para tetua adat untuk dimintai pertanggung jawabannya, sekaligus memerintahkan agar segera mengatasinya. Raja sangat kuatir jika perbuatan menyimpang yang dilakukan masyarakatnya itu dibiarkan, maka akan mendapat azab dari Tuhan Sang Pencipta Alam.
    Memang menurut kisahnya, para tetua adat tersebut telah melaksanakan titah sang raja untuk menghentikan perilaku menyimpang masyarakat itu. Namun jangankan berhenti, malah sebaliknya perbuatan masyarakat itu semakin menjadi-jadi. Hubungan intim di luar nikah seakan menjadi hal yang rutin tanpa bisa dicegah. Larangan berdasarkan agama dan adat istiadat, bagai tak digubris, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sebelah timur ibukota kerajaan.
     Karena sulit dicegah, maka suatu hari Raja Tindalun mengundang para pejabat kerajaan dan tetua adat untuk melakukan pembahasan secara khusus. Di mana kesimpulan dari hasil pembahasan yang digelar di atas bukti sekitar. Tindalun itu, antara lain menyebutkan akan memberi sanksi dan hukuman seberat-beratnya bagi siapa saja tanpa kecuali yang kedapatan melakukan hubungan suami istri diluar nikah. Namun apa lacur?, lagi-lagi masyarakat tidak peduli. Hubungan bebaspun bukan hanya pada malam hari dilakukan, tapi disiang bolong pun perbuatan itu dilakukan. Ibaratnya, masyarakat seperti sudah kehilangan akhlak dan moralnya. Celakanya lagi, penyakit masyarakat ini bahkan sempat mewabah di kalangan kerabat kerajaan menyusul terlibatnya salah seorang anak raja Tindalun.
     Kabarnya, pasangan selingkuh anak raja Tindalun dimaksud adalah anak gadis dari salah seorang tetua adat setempat. Yang akhirnya, pada malam kejadian itu, ketika kedua anak manusia ini sedang hanyut dalam kenikmatan hubungan intim di luar nikah, sekonyong-konyong datang bencana yang memporakporandakan wilayah kerajaan Tindalun. Rupanya Tuhan telah menunjukkan murkanya. Mereka yang selama ini tak mau lagi mendengar titah rajanya, dan gemar melakukan hubungan intim di luar nikah, semua dilaknat menjadi bukit-bukit. Di antaranya ada yang menyerupai kelamin wanita.
      Gunung yang menghadap ke barat dan terletak di sebelah timur Gunung Bambapuang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Buttu Kabobong. Sedangkan pada sebelah barat Buttu Kabobong, terdapat pula gunung yang menjorok ke seberang menghampiri pusat Buttu Kabobong. Gunung ini bentuknya menyerupai “maaf” alat kelamin laki-laki. Antara kedua gunung ini dibatasi oleh sebuah anak sungai.
     Demikian sekelumit legenda tentang Buttu Kabobong, yang jika ditelaah, sesungguhnya mempunyai pesan moral agar umat manusia di mana pun, tidak melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Karena hal itu merupakan perbuatan zinah yang sangat dilarang oleh agama. Hukumnya adalah dosa besar.
Gambar Gunung Nona Enrekang












D.  Toraja Missiliana Hotel

     Perjalanan panjang dan cukup melelahkan terobati sudah setelah kami sampai di Toraja Missiliana Hotel. Hari sudah gelap sambutan senyum hangat para petugas hotel, saputangan handuk hangat untuk menyeka wajah kami yang seharian diperjalanan sangat menyegarkan ditambah jus markisa khas Tana Toraja ikut menyapa indra pengecap kami dengan ramah. Alhamdulillah saatnya beristirahat.







          Tempat beristirahat selama satu malam







Bersama Bu Wiwik pagi hari di halaman hotel sebelum melanjutkan perjalanan
Pagi hari di Toraja Missiliana Hotel
         









Replika Tongkonan Toraja Missiliana Hotel  











Di depan replika tongkonan Toraja Missiliana Hotel        











         
Lukisan pada dinding tongkonan       










E.  Welcome To Toraja
                                                              
     Setelah beristirahat satu malam di Toraja Missiliana Hotel, kamis pagi 03 September 2015 kami lanjutkan perjalanan ke Tana Toraja, tujuan kami mengunjungi Kanbira ( kuburan bayi dalam pohon ), Lemo ( pemakaman diatas tebing ) dan Ketekessu ( pemakaman  khas suku toraja ).
     Keindahan alam Tana Toraja mengiringi perjalanan kami. Daeng Mursyid kembali menemani perjalanan kami dengan pengantar ceritanya tentang Toraja baik dari asal- usul masyarakatnya, budayanya, adat istiadatnya, sempat terbersit dalam pemikiran saya, sang daeng ini seperti kamus berjalan yang banyak menyimpan informasi ragam budaya yang tersimpan di pulau Celebes ini.
     Sebelum saya lebih lanjut memaparkan tentang kanbira, lemo dan ketekessu mari sejenak baca tentang paparan Toraja dari nara sumber tourist guide kami, yang dengan lugas , jelas namun santai, sehingga kami tetap fokus mengikuti dan mendengarkan, mari lanjutkan untuk membaca semakin lama insyaallah semakin menarik.

     Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma
     Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
     Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
     Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).
     Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
     Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
    Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen
     Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
     Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Demikian sekelumit tentang Toraja, tidak heran kalau di Toraja sendiri jarang bahkan tidak ditemui Masjid atau Mushola, karena begitu kuatnya Kristen yang dibawa oleh para missionaries disana, semoga dikemudian hari islam akan Berjaya di tana toraja, amin.
   Pagi hari sekitar pukul 09.28 kami sampai dipemukiman suku toraja, kami  mengunjungi Kanbira ( kuburan bayi dalam pohon ), menurut keterangan warga setempat Kanbira terakhir untuk pemakaman bayi pada tahun 1958, setelah kristenisasi masyarakat toraja mulai mengubur bayinya yang meninggal ditanah . Kayu Cempedak yang sudah berumur ratusan tahun sebagai Kanbira, mereka masyarakat Toraja percaya getah kayu tersebut adalah sumber asi untuk para bayi yang dikuburkan dalam batangnya.   Semakin tinggi letak makam bayi semakin tinggi pula kasta keluarganya.
     Menurut keterangan dari seorang nenek warga sekitar yang kami temui     Kanbira sempat akan ditebang dan diteliti oleh warga negara asing yang berkunjung, beruntunglah pemerintah melindungi cagar budaya ini sehingga para generasi penerus masih bisa melihat warisan budaya leluhurnya.

















KANBIRA ( Pemakaman bayi dalam pohon )


Nenek asli suku toraja yang kami temui di Kanbira yang bercerita banyak tentang Kanbira












      Perjalanan kami  lanjutkan ke Lemo sebuah pemakaman diatas tebing , selama ini saya hanya menyaksikan dari televisi, seperti mimpi rasanya bisa berada disana, langsung melihat dan menyaksikan sendiri.        Desa Lemo memiliki keunikan tersendiri. Tongkonan dan kubur batu yang berada di tebing curam menjadi daya tarik desa ini.
    











    Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
     Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
     Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh,yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.
     Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual,seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
     Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu kerbau, kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja.
    Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat TanaToraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule Tedong Bonga yang harganya berkisar antara 10 -  50 juta atau lebih per ekornya.



Bersama ‘Tasya’ teman kecil dari Lemo tanatoraja
    








 





Pembuat tau- tau
atau orang- orangan
yang telah meninggal di Lemo






                                                          Tau-tau di Lemo





     Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia sama dengan "tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) - Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur, agamis, bijaksana)  Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau
Ketekessu tujuan kami berikutnya …
  
         










     Kete Kesu adalah suatu desa wisata di kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini. Di dalam Kete Kesu terdapat peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang diperkirakan berusia 500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir semua kubur batu diletakkan menggantung di tebing atau gua. Selain itu, di beberapa tempat juga terlihat kuburan megah milik bangsawan yang telah meninggal dunia



















Kuburan adat di Ketekessu
     Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
     Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
     Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
                                                                     















Pengrajin benda seni khas toraja banyak kita temui di Ketekessu


                                                                     





 














   Saatnya kami untuk kembali ke Makasar, melanjutkan perjalanan berikutnya. Hari mulai menjelang sore kami menuruni daerah Kabupaten Enrekang, ucapkan selamat tinggal pada kokohnya gunung Bambapuang yang dipangkuannya terhampar gunung nona atau buttu kabobong, hanya sang maha kuasa yang mengetahui kapan lagi  kaki ini  dapat menginjak belahan bumi ciptaan-Nya yang sangat mulia kecantikannya. Sempat dalam perjalanan ibu Direktur kami mengenalkan kembali sekaligus mengajak kami mencoba kuliner khas tanah kelahirannya, yaitu kue “ depatetekan” sejenis dengan kue ‘ cucur’ di pulau jawa. Perjalanan panjang kembali dimulai, walaupun mobil yang mengantar kami sempat merajuk alias mogok akhirnya tepat pukul 02.07  WITA dini hari sampailah kami ditempat istirahat kedua  tidak jauh dari lokasi wisata Pantai Losari. Alhamdulillah saatnya beristirahat untuk bersiap kembali melewati perjalanan berikutnya.
 









Bambapuang - Enrekang





F.  ‘Amazing School’ SIT Al Fityan Gowa Makasar

     Sebelum kami pergi beristirahat malam tadi Bu Nisa berpesan ‘  besok pagi jangan lupa berkumpul jam tujuh ya, tanpa dipanggil- panggil lagi, sekarang langsung istirahat, tidur”. Semakin dekat semakin saya mengenal sosoknya , wanita Bugis cantik berkarakter kuat, saya diberikan Allah SWT kesempatan untuk melihat apa yang tidak terlihat dari sosok beliau, tawa lepasnya, keceriaannya, kehangatan sikapnya, dan hal lain dari beliau yang cukup untuk saya simpan sendiri dalam memori saya, Ibu Nisa semoga Allah SWT memberkahi anda dan keluarga, amin.
     Pagi hari Jumat, 04 Sept 2015 di udara Makasar, setelah sarapan pagi kami bersiap mengunjungi SIT Al Fityan Gowa Makasar. Bersiap dengan pakaian resmi bersepatu dan membawa kelengkapan untuk study banding. Bismillah.
 

    
AFISGO
(AlFityan School Gowa )








     Sekolah Al Fityan cabang Gowa Makasar ini tergolong masih berusia muda, tepatnya pada tahun 2009 diresmikan, dalam deskripsi perjalanan pendidikan ini saya sebut Al Fityan  Gowa dengan AFISGO agar terasa lebih ringkas dan unik.
     Yayasan Al Fityan adalah sebuah lembaga yang memulai aktivitasnya pada tahun 2005 merupakan lembaga pendidikan nonprofit, fokus pada penyiapan generasi rabbani dimasa mendatang, Tanggerang adalah komplek pendidikan pertama yang dibangun oleh Yayasan Al Fityan Indonesia. Memiliki sarana berupa gedung berlantai 4 asrama anak yatim beserta ruang makan dan lapangan bermain serta sebuah masjid, menjadikan komplek pendidikan yang cukup mumpuni secara fasilitas. Kehadirannya sebagai lembaga pendidikan menjadi sekolah alternative ditengah- tengah masyarakat dengan menawarkan konsep integralisasi pembelajaran nasional dan pembelajaran nilai karakter.
     Seiring berjalannya waktu dalam hitungan yang cukup singkat namun sangat pesat perkembangannya yayasan al fityan berhasil mendirikan al fityan - al fityan baru di empat pulau besar Indonesia, Aceh, Medan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan menyusul akan dibuka tiga Al Fityan baru di pulau jawa, ladang dakwah semakin meluas dengan ketawadhuan Visinya yang sangat membumi namun hasil tujuannya jauh sampai kelangit, sangat visioner
 Kami diterima di aula ruang rapat AFISGO
                                                                     





     AFISGO Sulawesi selatan diresmikan tahun 2009 awalnya hanya memiliki tanah seluas 6041 meter persegi dengan total luas bangunan 6000 meter persegi terdiri dari asrama dan  dua gedung kelas serta masjid. AFISGO memiliki Divisi yang sangat banyak manfaatnya untuk umat yang dinamakan Dompet Sosial Al Fityan , Divisi ini melibatkan seluruh civitas akademika al fityan dan masyarakat sekitar, sementara lembaga pendidikannya fokus pada pengembangan mutu dan pengembangan pendidikan. 
     Visi AFISGO adalah menjadi lembaga pendidikan yang terdepan dan unggul dalam pengajaran, pendidikan dan administrasi se Indonesia.  Terkesan sangat membumi namun hasilnya luar biasa. Hal ini terbukti dari pesatnya perkembangan AFISGO dilihat dari segi proses pendidikan dan administrasinya, kerapihan pengarsipan setiap dokumentasi disana sangat terlihat sistematis, dan makna unggul dalam visinya selalu dijaga dan selalu berusaha diwujudkan. Teladan sikap tawadhu  para pimpinan AFISGO mewarnai sikap setiap gurunya baik dari ucapan lisan maupun bahasa tubuh.
   
BersamaTIM Pengembang Kurikulum AFISGO






      Misi AFISGO adalah memberikan kontribusi terbaik dalam pengembangan masyarakat melalui pembinaan warga Negara Indonesia yang saleh dengan berlandaskan budaya ilmiah.
     AFISGO memiliki tujuan yaitu
·         Meningkatkan keimanan dan pensucian jiwa dengan ibadah hati dan menguatkan hubungan dengan Allah Ta’ala
·         Memberikan perhatian terhadap Al Quran baik bacaan, hafalan dan pemahaman
·         Memberikan kepedulian terhadap pengajaran bahasa arab bagi yang tidak berbahasa arab dan memotivasi mereka untuk bercakap dengan bahasa arab
·         Berupaya meningkatkan kesadaran umum, menumbuhkan wawasan keislaman dan memotivasi belajar ilmu-ilmu syariah
·         Membina kader pemimpin di daerah dari peserta didik yang berprestasi dan berbakat
·         Menyebarkan pemikiran islam moderat
·         Berkontribusi dalam menguatkan nilai- nilai keimanan dengan mengedepankan dialog dan menghormati hak- hak peserta
·         Mengembangkan yayasan secara berkesinambugan yang menjamin adanya peningkatan kegiatan pendidikan
·         Berinteraksi dengan pembaharuan zaman dan perubahan- perubahannya yang tidak berbenturan dengan hal- hal baku dalam syariat dan karakteristik yang diakui dimasing- masing cabang
     AFISGO memiliki target pembentukan pribadi diantaranya beraqidah lurus, beribadah dengan benar, memiliki fisik yang sehat dan kuat, dan berakhlak mulia.
    









Bersama para peserta didik kelas dua AFISGO
    
     Dompet Sosial AFISGO memiliki Visi ‘menjadikan dompet sosial al fityan sebagai pengemban amanah ummat dalam menghimpun dan memberdayakan ZISWAF’.
Misi Dompet Sosial AFISGO diantaranya
1.     Menghimpun dan mendayagunakan ZISWAF untuk mengembangkan potensi masyarakat menuju kemandirian
2.    Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, perusahaan, pemerintah dan LSM dalam dan luar negri
3.    Memberikan edukasi dan layanan kepada masyarakat secara cepat, tepat dan menyeluruh
Program Dompet Sosial AFISGO diantaranya
1.     Pemberian santunan kepada anak yatim
2.    Program beasiswa
3.    Penyaluran bantuan bencana alam dan kebakaran
4.    Pelayanan pengobatan dhuafa
5.    Perbaikan tempat ibadah ( fisik dan non fisik)
6.    Pelatihan dai imam masjid, dan pengurusan jenazah
7.    Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah ( UKM )

Gambar kegiatan selama kunjungan di AFIGOS

                                                                     












 















     Setengah hari bersama AFIGOS banyak hal baru yang kami dapatkan, dilihat dari proses pendidikan tidak jauh berbeda dengan sekolah kami, ada keunggulan yang dapat dicontoh dari AFIGOS diantaranya cara mereka mengelola dan menjalankan dompet sosialnya bisa dicontoh, usianya yang lebih muda dari FH namun perkembangannya cukup pesat, ditangani oleh para professional muda yang berkemampuan dibidangnya dengan teladan karakter santun, tawadhu yang tetap terjaga. Semoga kedepan sekolah tercinta kita Fitrah Hanniah bisa mewujudkan sesuatu yang  bermanfaat bagi umat baik melalui proram pendidikannya maupun program lainya yang sudah ada di Fitrah Hanniah. Insya Allah, amin.
     Selesai shalat  jumat dan menikmati Kapurung kuliner khas Makasar kami melanjutkan perjalanan menuju  Fort Rotterdam atau disebut juga benteng punyuah artinya benteng penyu…let’s go






















G.  Benteng Punyuah ( Fort Rotterdam )
   





     Benteng Rotterdam atau benteng punyuah atau benteng penyu tidak dapat dipisahkan dari sejarah Sulawesi Selatan, merupakan situs sejarah yang letaknya di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dan salah-satu obyek wisata sejarah yang paling mudah dijangkau . Konon Khabarnya Benteng-benteng ini dibuat dari tanah liat dan putih telur sebagai pengganti semen.
     Benteng Rotterdam salah satu benteng yang pernah dibangun dan masih terawat hingga kini (bahkan Barbara Crossette di New York Times menuliskannya sebagai the best preserved Dutch fort in Asia).
Didalam Benteng Rotterdam dibangunan Museum Negeri La Galigo yang menyimpang peninggalan  dari Tana Toraja. (La Galigo diambil dari sebuah epos yang berjudul I La Galigo. merupakan karya sastra kebanggaan orang Bugis .Nama I La Galigo adalah salah satu tokoh ahli sastra  di kerajaan Luwu dan Wajo pada abad 14).
     Pangeran Diponegoro, pemimpin perang Jawa tahun 1925-1930, pernah dibuang ke Makassar serta diasingkan selama 26 tahun di Benteng Rotterdam ini. Ada yang mengatakan bahwa benteng ini didirikan oleh Raja Gowa ke 10 pada tahun 1546. beberapa sumber menyebutkan bahwa pada hari bertepatan dengan 9 agustus 1643 atas perintah Sultan Alauddin , Benteng Ujung Pandang mulai di dirikan di sebuah ujung yang bernama ujung pandang. pendapat lain Benteng ini sudah ada jauh sebelumnya .  Benteng ini di sebut juga Benteng Penyu karena bentuknya seperti Penyu tampak dari atas.  Pada tgl 10 Novembar 1634 waktu itu di dalam benteng ini diadakan upacara membasuh panji panji kebesaran Gowa dengan menggunakan darah. Setelah perjanjian Bungaya benteng ini jatuh ke tangan Belanda dan oleh Speelman di sebut dengan FORT ROTTERDAM. Pada masa Jepang Benteng ini berfungsi sebagai pusat penelitian ilmiah utamanya bahasa dan penelitihan Budaya
     Benteng Rotterdam letaknya di pinggir pantai Kota Makassar, berseberang dengan pelabuhan Sukarno-Hatta, serta Pelabuhan penyeberangan ke Pulau Kahyangan, kurang lebih 500 meter kearah selatan terdapat Pantai losari dan Pantai Akarena
Dalam benteng Rotterdam terdapat museum LA GALIGO yang banyak menyimpan benda sejarah dan budaya di Sulawesi



                                                                            



     La Galigo sebuah Naskah yang manuskripnya bisa mencapai 2851 halaman ukuran kertas folio. Yang menceritakan Awal mula kerajaan bumi, Kisah Dewa-Dewi yang berasal dari kerajaan Langit dan kerajaan bawah air, Kisah Percintaan Abadi, Serta semua kearifan lokal yang terkandung dalam kebudayaan bugis klasik. Naskah La Galigo ini merupakan epos terpanjang di dunia yang dimana mengalahkan panjangnya Manuskrip dari India yang dikenal dengan Mahabarata
     Tetapi dalam kebesaran sastra tulis yang sudah mendunia itu Naskah La Galigo dapat di jumpai di beberapa negara. Naskah tersebut tidak merupakan satu kesatuan yang utuh akan tetapi naskah tersebut terpisah-pisah. Hal inilah yang menjadi hambatan bagi para Peneliti Epos La Galigo. Manuskrip La Galigo bisa di jumpai di Museum La Galigo di Makassar, Di Perpustakaan Leiden di Belandan, Di Malaysia, dan manuskrip juga masih bisa kita jumpai pada keluarga-keluarga bugis yang melestarikan epos Tersebut.
     Naskah tua yang harganya tak ternilai itu kebanyakan halamannya hasil dari proses penyalinan (Bukan Naskah Asli) bukan hanya itu saja banyak potongan episode dalam naskah yang penting itu hilang dan membuat pembacanya merasa kesulitan untuk menyambung cerita epos tersebut.
     Begitu banyak mitos-mitos dalam naskah ini yang mungkin tidak pernah kita fikirkan dalam akal sehat manusia tapi itulah kerendahan hati sebuah epos suci yang di tuliskan dengan hati yang membuat para para pakar budaya tanah air dan asing tergoda untuk mengungkap rahasi tersembunyi dalam epos suci kebudayaan bugis klasik. Begitu banyak pakar budaya yang sudah meneliti epos tersebut tetapi yang mereka bisa ungkap hanya saja episode Cinta yang terlarang yang dimana Sawerigading mencintai saudara kembarnya yakni Tenriabeng yang terhalang oleh Adat Istiadat Bugis dan perjalanan Sawerigading ke Cina. sedangkan ada beberapa Pakar yang mencoba meneliti sumber awal terjadinya Kerajaan Bumi Dari Turunnya Batara Guru memimpin Kerajaan Bumi hingga proses terjadinya manusia pertama yang membuat banyak persepsi yang berbeda-beda
     Sudah beratus-ratus tahun Legenda Masyarakat Bugis ini tercipta dan mungkin masa juga yang akan menjawab dari misteri Legenda Masyarakat Bugis. La Galigo adalah sebuah misteri yang tak pernah terungkap.
     Keragaman dan kekhasan budaya , adat istiadat, tersimpan rapi di museum ini , keberkahan atas kasih sayang Allah sehingga hari ini saya berkesempatan langsung melihat, menyentuh sekaligus membaca apa yang tersimpan di museum ini, kisah Saweri Gading seperti membawa saya pada masanya, ada rasa sedih, duka, terharu…










Didepan miniatur rumah diatas sampan



 











                                                            



Terbayang masa kecil Umi dan Bu Nisa saat beliau mencoba sebuah permainan kuno di museum la galigo , melompat, riang tertawa, bersorak, merasa lucu karena tak lagi selincah dulu saat masa kecilnya, keceriaan yang takan pernah terlihat saat kami disekolah, terharu saya menyaksikannya, having fun bu…



H.  ULU JUKU RESTO

 










    Sebelum mengakhiri pergantian hari ibu Nisa mengajak kami bertemu dengan keluarganya sambil menikmati hidangan ala Makasar, ada satu kalimat yang tertulis besar didepan pintu masuk resto yang sempat membuat saya tersenyum ketika membacanya dan sampai saat ini saya masih mengingat kalimat itu…

“harga irit rasa selangit gedung elit bayarnya dikit”
Memasuki pintu resto…
Memang elit gedungnya
Mulai cicipi menunya…wow
Rasanya memang selangit
Mengenai harga…
Itu yang  belum sempat saya pastikan ???
Mohon Maaf Just Kidding…


aha….andai itu ada di Bekasi bisa saya ajak seluruh keluarga Fitrah Hanniah kesana…amin,semoga

I.    Pantai Losari
      Berbicara masalah keindahan wisata pantai di Indonesia memang tidak ada habisnya, salah satu pantai yang menyimpan keindahan alami adalah pantai Losari. Keindahan Pantai Losari terdengar sampai keseluruh pulau di Indonesia. Pantai yang terletak di Jalan Penghibur sebelah barat kota Makassar.
     Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar dan pendatang untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam hari dengan menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah. Pantai ini memiliki keunikan dan keistimewaan yang mempesona. Salah satu ciri khas Pantai Losari adalah para pengunjung dapat menyaksikan Matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama.
     pengunjung juga dapat menikmati indahnya deburan ombak yang memecah tanggul pantai dan kesejukan angin laut yang bertiup sepoi-sepoi, sambil menyaksikan detik-detik terbenamnya matahari secara utuh di balik cakrawala, yaitu mulai dari perubahan warna hingga pergeseran posisinya sampai benar-benar hilang dari pandangan.
     Selain keindahan pantainya Losari juga dikenal sebagai pusat kuliner yang menjual pangan dan jajanan yang khas. Berbagai macam kuliner lezat tersedia bagi anda yang suka berburu makan khas. Salah satunya yang digemari di pantai Losari ini adalah pisang epe.
     Pisang mentah yang dibakar kemudian dipipihkan dan diberi campuran air gula merah ini bisa untuk menghangatkan badan sambil kita memandangi lautan di pantai Losari. Tapi sayangnya saat kami disana tidak sempat mencoba kuliner ini.




j.    Rammang – Rammang
     Terletak di Dusun Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, kami menaiki pete- pete ( angkutan umum khas Sulawesi )untuk sampai kesana karena mobil kami kembali merajuk alias mogok, tapi ini menjadi hal menyenangkan dan jarang terjadi karena kami naiki pete- pete bersama Ibu Direktur kami. Tepatnya dihari sabtu, 05 sept 2015.
     Menurut Sumber yang ada, gugusan karts Maros Ramang – ramang ini adalah pegungungan kapur terluas ke 3 yang berada di dunia setelah Cina dan Vietnam. Di Indonesia memiliki taman hutan batu yang eksotik indah, hal ini dikarenakan masing-masing taman hutan batu memiliki karakterisitik dan ciri khas yang berbeda-beda. Dengan ratusan bahkan mungkin ribuan bebatuan kapur berwarna hitam dan abu-abu dengan berbagai bentuk dan ukuran, disekitar perbukitan batu terdapat hamparan sawah penduduk dan di belakangnya terdapat sebuah sungai yaitu Sungai Pute, ditumbuhi pepohonan hutan dan pepohonan lontar di sekitarnya menambah eksotis taman hutan batu di Maros ini. Kawasan ini ibarat sebuah kompleks tempat berkumpulnya bebatuan. Tidak salah rasanya kalau taman hutan batu di Rammang-Rammang ini adalah salah satu yang terindah di dunia.
     Dari sekian keragaman bentuk batuan, beberapa yang sungguh luar biasa adalah kenampakan karst menara dan pinnacle karst dengan bentuk yang runcing di Dusun Bontopuru. Bebatuan tersebut menjadi latar belakang yang kontras di antara sawah-sawah yang luas, genangan sisa rawa, atau kolam-kolam berhias tumbuhan teratai. Di sekitar Salo Pute. Yang artinya sungai putih, batuan yang berabrasi oleh air membuat bebatuan menjadi ukiran-ukiran alam yang unik dan saat melewati rimbunan pohon tak jarang hewan endemik asli tempat tersebut seperti burung, kera tak berekor, ayam hutan bahkan ular akan menyambut kedatangan kita.
    Selain keindahan pegungungan kapurnya, di tengah pegunungan terdapat sebuah telaga yang disebut dengan Telaga Bidadari. Telaga ini berada di tengah bebatuan besar yang mempunyai lubang besar yang menjadi tempat berkumpulnya air pegungungan. Diperlukan usaha lebih untuk mencapai telaga bidadari ini, yaitu dengan memanjat tebing dan melewati jalan setapak. Air di Telaga Bidadari ini merupakan sumber air tawar untuk warga sekitar Rammang-rammang. Disebut telaga bidadari konon telaga tersebut tempat mandi para bidadari yang turun dari langit. Tapi sayangnya rombongan kami tidak sampai kesana.
     Perpaduan antara batuan karts yang keabuan, kehijauan sawah warga, rumah-rumah panggung dan genangan air seperti kolam menjadikan perpaduan landscape pemandangan yang sangat menakjubkan di Maros Rammang-Rammang.







Menaiki sampan menyusuri sungai salo pute menuju rammang- rammmang

Keindahan Rammang – Rammang         
         























J.   Bantimurung Bulusaraung
Bantimurung merupakan sebuah taman nasional yang terletak di kabupaten Maros, berjarak sekitar 42 km dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Taman Nasional ini sebenarnya memiliki nama lengkap Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, namun banyak orang mengenalnya dengan sebutan TN Bantimurung saja.
TN Bantimurung Bulusaraung memiliki luas 43.750 hektar, dan wilayahnya berbatasan dengan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu kabupaten Maros, kabupaten Pangkep dan Barru di sisi utara, kabupaten Bone di sisi timur, dan Kabupaten Pangkep di sisi barat.
    Taman Nasional ini memang menonjolkan kupu-kupu sebagai daya tarik utamanya. Di tempat ini sedikitnya ada 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 7/1999.   Beberapa spesies unik bahkan hanya terdapat di Sulawesi Selatan, yaitu Troides Helena Linne, Troides Hypolitus Cramer, Troides Haliphron Boisduval, Papilo Adamantius, dan Cethosia Myrana. Antara tahun 1856-1857, Alfred Russel Wallace menghabiskan sebagian hidupnya di kawasan tersebut untuk meneliti berbagai jenis kupu-kupu. Wallace menyatakan Bantimurung merupakan The Kingdom of Butterfly (kerajaan kupu-kupu). Menurutnya di lokasi tersebut terdapat sedikitnya 250 spesies kupu-kupu.
     Air terjun Bantimurung memiliki turunan batu besar yang landai sehingga membuat air tidak mengalir terlalu deras, air turun dengan manis seperti aliran air yang merembes pelan turun ke bawah. Setelah terbuai dengan keindahan perbukitan karst di jalan masuk taman nasional, saya kembali terpesona dengan pemandangan air terjun Bantimurung yang seolah-olah seperti air terjun khayangan… Masyaallah
K.  Selamat Tinggal Kota Daeng

Perjalanan telah selesai
Banyak pengalaman penuh makna
Kembali ketempat asal
Dengan membawa segenap rasa
Ucapan terimakasih saya sampaikan
Semoga tulisan ini bermanfaat
salam

Posting Komentar

My Instagram

Designed By OddThemes | Distributed By Blogger Templates