A. Perjalanan Menuju Kota Daeng
Rabu 02
September 2015 tibalah saatnya saya untuk melakukan sebuah perjalanan
pendidikan yang diamanahkan oleh lembaga pendidikan tempat saya bertugas di
SDIT Fitrah Hanniah Cibitung Bekasi. Perjalanan ini semestinya dilakukan oleh
Ibu Susi Susanti. S.Si selaku Kepala
Sekolah Periode Tahun Ajaran 2015 / 2016, namun karena sesuatu dan lain hal
beliau tidak dapat mengikuti perjalanan ini dan mengamanahkan kepada saya untuk
menggantikan beliau tentunya dengan persetujuan Ibu Chaerunnisa. SP. M.Ak
selaku Direktur Pendidikan SIT Fitrah Hanniah dan Ulil Albab yang selama genap
enam tahun saya bergabung di lembaga pendidikan yang beliau pimpin dan kelola,
telah banyak memberikan pengalaman, pendidikan dan pelajaran hidup khususnya
bagi diri saya pribadi. Terlepas dari semua tentunya takdir Allah SWT yang
akhirnya membawa saya pada sebuah masa yang nanti bisa saya ceritakan
pengalamannya pada rekan guru , anak cucu dan para peserta didik saya
dikemudian hari. Terimakasih atas kasih sayang –Mu Ya Allah.
Tepat pukul 01. 30 dini hari saya mulai
berkemas, sengaja saya berkemas selagi putri kecil saya tercinta sudah lelap
dalam tidurnya. Walaupun sudah disampaikan jauh hari tentang perjalanan ini,
tetap saja saya akan melihat ketidak nyamanan di raut wajahnya karena
perjalanan kali ini adalah perjalanan terjauh saya selama enam tahun terakhir
di Fitrah Hanniah. Selesai saya memasukan semua keperluan saya selama
perjalanan kedalam koper, tak lupa saya sungkem pada sang Pencipta diri yang
lemah ini, agar tetap dalam perlindungan-Nya sampai selesai menunaikan amanah
ini. Mulai kubangunkan putriku untuk berpamitan, dengan kantuknya dia
melepasku, suamiku mengantarku sampai sekolah tempat kami berkumpul sebelum
keberangkatan kami. Angin dingin dini hari mengiringiku menjemput sepenggal
pengalaman yang akan kembali melengkapi bagian dari cerita hidupku.
Semua sudah berkumpul ada Bapak
Sarbini dan Ibu Nia selaku yayasan Fitrah Hanniah yang akan menemani kami dalam
perjalanan ini, ada Pak Sukmadi mewakili SMK Fitrah Hanniah, Pak Win, Pak Yogas
dan Bu Tya mewakili SMP Ulil Albab, Bu Yayuk mewakili Kiddy Place FH, Bu Tuti
selaku sekertaris, Umi Fachri selaku yayasan Ulil, Bu Wiwik dan saya mewakili
SDIT FH. Kami terbagi menjadi dua rombongan menuju Bandara Soekarno Hatta tepat
pukul 03. 12 dini hari kami mulai bergerak, rencananya kami terbang menuju
Makasar pukul 05.00 dengan penerbangan Lion Air JT 792 dan akan sampai di
Makasar pukul 08.25. Kami akan bertemu
Bu Nisa dan rombongan lainnya dari Cordova Cikarang di bandara. ‘The
First Flying for Me, amazing’
Gambar
saat penerbangan pertama saya dimulai tepat pukul 05.00 dini hari diambil dari
sisi jendela tepat disamping tempat duduk saya.
Pengalaman terbang pertama saya, tempat
duduk saya terpisah dari rombongan rekan guru FH, duduk tepat dibagian sayap sebelah kiri pesawat bernomor
bangku 15B, ada rasa gugup yang tak bisa saya gambarkan, lucu mungkin bagi
sebagian orang, namun bagi saya luar biasa ,saatnya menenangkan diri sendiri .
Lampu - lampu kota yang saya tinggalkan
mulai terlihat kecil dan meredup dibawah sana, sesaat guratan merah mulai
terlihat, masyaallah gambaran lukisan alam tiada tandingan karya sang maha
pencipta seluruh alam, kumpulan awan putih menemani sepanjang perjalanan,
inilah kali pertama saya dapat menunaikan waktu dhuha dan melantunkan
almatsurat pagi saya di angkasa, Subhanaallah, Alhamdulillah, Allahu akbar.
Pesawat sebentar lagi mendarat, ayunan
pesawat kurang ramah terasa diperut saya
namun saya coba berdamai dengan ketidak nyamanan ini sekuat tenaga, jujur saya
sedikit panik khawatir tidak dapat menahan kondisi ini, maklum layaknya orang
desa yang jarang berkendaraan. Alhamdulillah Allah masih menguatkan saya,
tepian pulau Celebes mulai terlihat, hamparan tambak- tambak, sawah tadah hujan
dan atap seng berkilauan tertimpa sorot sang surya dipagi hari, selamat datang
‘Kota Daeng’ tiga hari kedepan saya akan bercengkrama dengan keindahan alam dan
budaya masyarakatmu.
Bandara Sultan Hasanudin Makasar pagi hari
pukul 08.25 WITA. Rombongan kami mulai menjejakan kaki di Pulau Celebes.
Tujuan perjalanan kami akan mengunjungi SIT ALFityan Gowa Makasar dan mengenal tiga suku besar di
Sulawesi yaitu Bugis, Makasar dan
Toraja. Sejenak istirahat untuk sarapan pagi di area kedatangan Bandara Sultan
Hasanudin sebelum rombongan kami melanjutkan perjalanan. Sesaat kemudian
datanglah tourist guide kami yang akan menemani selama perjalanan, Pak
Umar sopir travel yang kemudian kami mengenalnya, Daeng Mursyid yang kemudian
mengenalkan lebih dekat indah dan ragamnya budaya tanah Celebes dan seorang
lagi Daeng fuad membantu dalam perjalanan kami, walaupun sosoknya hanya banyak
diam sehingga kehadirannya kadang tidak disadari oleh kami.
‘The journey come beginning’
B. Monumen Cinta Sejati Habibie dan Ainun Parepare
Sejenak melepas lelah, Rabu pagi 02
September 2015 rombongan kami melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja, kami
diberi tahu kira- kira lama perjalanan akan memakan waktu kurang lebih sepuluh
jam, terbersit tanya nyamankah nanti selama perjalanan mengingat saya pribadi
belum pernah berkendara dalam waktu yang cukup lama, seperti biasa saya
berusaha untuk selalu ‘ positive thingking ‘ dan berusaha menikmati
perjalanan walaupun sempat diawal perjalanan perut ini masih harus berjuang
untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada sampai kami berhenti sejenak di
Indomart Maros untuk membeli makanan kecil bekal diperjalanan. Wisata kuliner
yang dikenalkan pada kami dikawasan ini adalah kue ‘Dange’ para tourist
guide menyebutnya kue ‘dangger’ atau
kue ‘bahaya’ dalam arti Indonesia, cukup unik dan membuat penasarankah
?.
Daeng Mursyid panggilan saya untuk tourist
guide kami memiliki karakter supel dan riang sehingga bisa menciptakan
suasana perjalanan rileks, nyaman dan cukup menyenangkan, ditambah dengan
pengetahuannya yang luas tentang tanah kelahirannya baik dari segi adat
istiadat, budaya, bahasa, wisata sampai
kuliner, kesepakatan pertamanya dengan kami dimulai dari sebuah cerita yang up
lucu dan menarik , sampai akhirnya tercetus kesepakatan kami rombongan untuk
mengucap pass word ‘Terasa” jika ada diantara kami yang berkebutuhan
kekamar kecil, cerita lucunya bisa pembaca cari tahu pada salah satu dari kami
sebagai peserta rombongan perjalanan pendidikan ini. Be anxious to do or
find out.
Tambak- tambak sepanjang
Maros menuju Parepare
Pantai biru sepanjang
perjalanan menuju Parepare
Semilir angin laut menemani
perjalanan kami
Menikmati
indahnya lukisan Allah SWT
Mulailah catatan perjalanan ini saya tulis berawal dari kota Parepare,
kota kelahiran Pak Habibie tokoh terkenal dinegri ini, sebagai sumber informasi
kami Daeng Mursyid sangat piawai dan tidak membosankan dalam menyampaikan informasi yang
perlu kami ketahui, “ buku agenda orange Fitrah Hanniah” menemani saya dalam
perjalanan, mencatat semua hal unik dan menarik yang perlu saya ketahui
sehingga deskripsi perjalanan pendidikan ini dapat dibaca oleh para rekan guru
lain yang belum berkesempatan melakukan kunjungan pendidikan ini khususnya dan
seluruh civitas akademika Fitrah Hanniah pada umumnya.
Di awal perkembangannya, perbukitan yang sekarang ini disebut Kota
Parepare, dahulunya adalah merupakan semak-semak belukar yang diselang-selingi
oleh lubang-lubang tanah yang agak miring sebagai tempat yang pada
keseluruhannya tumbuh secara liar tidak teratur, mulai dari utara (Cappa Ujung)
hingga ke jurusan selatan kota. Kemudian dengan melalui proses perkembangan
sejarah sedemikian rupa dataran itu dinamakan Kota Parepare.
Lontara Kerajaan Suppa menyebutkan,
sekitar abad XIV seorang anak Raja Suppa meninggalkan Istana dan pergi ke selatan
mendirikan wilayah tersendiri pada tepian pantai karena memiliki hobi
memancing. Wilayah itu kemudian dikenal sebagai kerajaan Soreang, kemudian satu
lagi kerajaan berdiri sekitar abad XV yakni Kerajaan Bacukiki.
Kata Parepare ditenggarai sebagian orang
berasal dari kisah Raja Gowa, dalam satu kunjungan persahabatan Raja Gowa XI, Manrigau Dg. Bonto
Karaeng Tunipallangga
(1547-1566) berjalan-jalan dari kerajaan Bacukiki ke Kerajaan Soreang. Sebagai
seorang raja yang dikenal sebagai ahli strategi dan pelopor pembangunan,
Kerajaan Gowa tertarik dengan pemandangan yang indah pada hamparan ini dan
spontan menyebut “Bajiki Ni Pare” artinya “(Pelabuhan di kawasan ini) di buat
dengan baik”. Parepare ramai dikunjungi termasuk orang-orang Melayu yang datang berdagang ke kawasan
Suppa.
Kata Parepare punya arti tersendiri dalam bahasa Bugis, kata Parepare bermakna " Kain
Penghias " yg digunakan diacara semisal pernikahan, hal ini dapat kita
lihat dalam buku sastra lontara La Galigo yang disusun oleh Arung Pancana Toa
Naskah NBG 188 yang terdiri dari 12 jilid yang jumlah halamannya 2851, kata
Parepare terdapat dibeberapa tempat diantaranya pada jilid 2 hal [62] baris no.
30 yang berbunyi " pura makkenna linro langkana PAREPARE" (KAIN
PENGHIAS depan istana sudah dipasang).
Melihat
posisi yang strategis sebagai pelabuhan yang terlindungi oleh tanjung di
depannya, serta memang sudah ramai dikunjungi orang-orang, maka Belanda pertama
kali merebut tempat ini kemudian menjadikannya kota penting di wilayah bagian
tengah Sulawesi Selatan. Di sinilah Belanda bermarkas untuk melebarkan sayapnya
dan merambah seluruh dataran timur dan utara Sulawesi Selatan. Hal ini yang
berpusat di Parepare untuk wilayah Ajatappareng.
Secara geografis Kota Parepare terletak di
sebuah teluk yang menghadap ke Selat Makassar. Di bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang dan di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Meskipun terletak di tepi laut tetapi
sebagian besar wilayahnya berbukit-bukit. Kota Parepare bisa dicapai dengan transportasi
darat atau laut. Parepare terletak di jalur utama lalu lintas ke Sulawesi Barat, Tana Toraja dan Palopo. Pelabuhan Nusantara menghubungkan Parepare dengan
kota-kota di pesisir Kalimantan, Surabaya dan kota-kota pelabuhan di Indonesia
bagian timur. Parepare juga merupakan pelabuhan bagi orang - orang di daerah
Ajatappareng.
Masyarakat Makasar pada umumnya dalam
berbahasa selalu berimbuhan “ –ng” pada kata yang berakhiran ‘huruf N ‘ misalnya hujan menjadi ‘hujang’, makan
menjadi ‘makang’, ikan menjadi ‘ikang’ dan modern menjadi ‘moderng’ terdengar
unik, lucu dan menarik tak jarang selama perjalanan kami tertawa bersama jika
mendengar guide kami keseleo lidah dalam berkata- kata dan akhirnya guide
kami selalu berkata ‘ maaf karena kami sudah moderng’.
Ada sesuatu unik yang saya temui ketika
memasuki kota Parepare, ya ‘Monumen Cinta Sejati Habibie Ainun’ berdiri anggun
dipusat kota. Begitu besar penghargaan masyarakat Parepare terhadap pribadi
Habibie, putra negri yang telah banyak memberi manfaat pada Negara dan
bangsanya.
Monumen cinta sejati Habibie
Ainun Parepare
Akhirnya tibalah saatnya kami beristirahat
untuk makan siang dan shalat, sebelum kami melanjutkan perjalanan kami.
C. Gunung Nona ( Buttu Kabobong ) Enrekang
Menjelang pukul 17.08 kami sudah memasuki Kabupaten Enrekang
tepatnya di kawasan rest area gunung nona, kembali kami disuguhi
Kebesaran dan Keagungan ciptaan-Nya. Masyaallah.
Gambar
berlatar belakang gunung
Nona
di kabupaten Enrekang
bersama
Bu Titin, Tim dari
SIT
Cordova Cikarang
Ditemani dinginnya angin pegunungan
kembali Daeng Mursyid menyampaikan informasi tentang daerah yang kami singgahi
ini, tak kalah juga semangatnya Ibu Nisa untuk menunjukan langsung posisi
gunung nona pada kami, diraut mukanya terbersit kebanggaan akan keindahan dan
keunikan tanah kelahirannya.
Buttu Kabobong atau Gunung Nona adalah nama sebuah gunung unik yang
terletak di Kabupaten Enrekang. Tepatnya di poros jalan dari arah Rappang,
Kabupaten Sidrap. Dikatakan unik karena bentuk gunung ini menyerupai alat
reproduksi wanita dan dipastikan hanya satu-satunya di dunia. Selain unik dan
penuh daya tarik, gunung ini juga ternyata punya legenda yang secara turun
temurun menyisakan berbagai versi, namun pada prinsipnya mengandung makna yang
sama, yakni pesan moral dari para leluhur setempat tentang pantangan keras
untuk melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Kisah di bawah ini adalah salah
satu versi yang dihimpun dari berbagai sumber sebagaimana berikut
Pada zaman dahulu kala, di kaki Gunung Bambapuang terdapat suatu
kerajaan tua yang bernama Kerajaan Tindalaun. Sementara di dalam kerajaan itu
sendiri terdapat sebuah perkampungan kecil yang juga dinamai Tindalun. Konon
pada suatu ketika, datanglah seorang yang disebut To Mellaorilangi’ (orang yang
turun dair langit) atau yang dalam istilah lainnya disebut To Manurung di
Kampung Tindalun yang terletak di sebelah selatan Gunung Bambapuang tersebut.
To Manurung ini juga menurut riwayatnya konon datang dari Tangsa, yaitu sebuah
daerah di Kabupaten Tana Toraja. Mulanya, di Tangsa ada seorang ibu muda cantik
bernama Masoang yang mempunai lima orang anak. Entah karena apa, kelima anak Masoang
itu terbagi-bagi. Yakni dua orang ke Tana Toraja Barat, dua lainnya tinggal di
Tangsa, kemudian yang satu orang lagi dianggap menghilang karena kepergiaannya
tidak diketahui.
Beberapa hari kemudian tak jauh dari sebuah perkampungan, pada suatu malam,
masyarakat Tindalun melihat ada seonggok api yang menyala seolah tak ada
padamnya. Karena didorong rasa keingitahuan, masyarakat lalu mencoba mendekati
sumber nyala api tersebut. Dan ternyata, tak jauh dari situ ada anak laki-laki
yang rupawan, ganteng serta kulitnya putih bersih. Bahkan menurut penilaian
masyarakat Tindalun ketika itu, selain ganteng , anak itu juga memiliki ciri
sebagia anak To Malabbi’. Karenanya, si anak yang tidak diketahui asal usulnya
itu lalu diambil dan dibawa ke Kampung Tindalun. Boleh jadi anak inilah yang
disebut sebagai To Manurung.
Ringkas cerita, ketika si anak lelaki tersebut menginjak dewasa, ia lalu
dikawinkan dengan salah seorang putri raja Kerajaan Tindalun yang sangat
cantik. Di mana setelah pesta perkawinan yang semarak dan yang dilaksanakn
secara adat istiadat setempat itu, masyarakat pun secara spontan lalu
membuatkan sebuah istana baru bagi pasangan ini. Karena menganggap perkawinan
itu adalah penyatuan dari anak seorang raja dengan To Mellaorilangi’ atau To
Manurung.
Selanjutnya
dari perkawinan itu, lahirlah putra mereka yang diberi nama Kalando Palapana,
kemudian dinobatkan sebagai Raja Tindalun. Dia memerintah beberapa
perkampuangan di situ.
Seperti diketahui, Tindalun ini merupakan wilayah yang ketika itu amat
kaya dengan sumber daya alamnya. Setiap musim panen, masyarakat sangat bersuka
ria karena hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah. Itu sebabnya kehidupan
masyarakat Tindalun rata-rata makmur dan sejahtera. Cuma sayangnya, kondisi
inilah yang membuat mereka lantas lupa diri. Suasana hura-hura nyaris tak
terlewatkan setiap saat. Bukan hanya itu, konon karena kekayaan yang dimiliki,
perangai masyarakatpun banyak yang mulai berubah.
Tatanan perilaku yang selama ini sangat menjunjung tinggi budaya dan
adat istiadat leluhur, mulai bergeser. Kehidupan pergaulan bebas pun kabarnya
sempat mewarnai hari-hari mereka. Dengan kata lain, perubahan strata ekonomi
yang begitu pesat ketika itu, menjadikan masyarakat Tindalun seolah lupa dengan
jati dirinya.Lalu bagaimana dengan Raja Kalando Palapana atas kejadian itu?,
tentu saja sangat gusar. Raja muda ini kemudian memanggil para tetua adat untuk
dimintai pertanggung jawabannya, sekaligus memerintahkan agar segera
mengatasinya. Raja sangat kuatir jika perbuatan menyimpang yang dilakukan
masyarakatnya itu dibiarkan, maka akan mendapat azab dari Tuhan Sang Pencipta
Alam.
Memang menurut kisahnya, para tetua adat tersebut telah melaksanakan titah sang raja untuk menghentikan perilaku menyimpang masyarakat itu. Namun jangankan berhenti, malah sebaliknya perbuatan masyarakat itu semakin menjadi-jadi. Hubungan intim di luar nikah seakan menjadi hal yang rutin tanpa bisa dicegah. Larangan berdasarkan agama dan adat istiadat, bagai tak digubris, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sebelah timur ibukota kerajaan.
Memang menurut kisahnya, para tetua adat tersebut telah melaksanakan titah sang raja untuk menghentikan perilaku menyimpang masyarakat itu. Namun jangankan berhenti, malah sebaliknya perbuatan masyarakat itu semakin menjadi-jadi. Hubungan intim di luar nikah seakan menjadi hal yang rutin tanpa bisa dicegah. Larangan berdasarkan agama dan adat istiadat, bagai tak digubris, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sebelah timur ibukota kerajaan.
Karena
sulit dicegah, maka suatu hari Raja Tindalun mengundang para pejabat kerajaan
dan tetua adat untuk melakukan pembahasan secara khusus. Di mana kesimpulan
dari hasil pembahasan yang digelar di atas bukti sekitar. Tindalun itu, antara
lain menyebutkan akan memberi sanksi dan hukuman seberat-beratnya bagi siapa
saja tanpa kecuali yang kedapatan melakukan hubungan suami istri diluar nikah.
Namun apa lacur?, lagi-lagi masyarakat tidak peduli. Hubungan bebaspun bukan
hanya pada malam hari dilakukan, tapi disiang bolong pun perbuatan itu
dilakukan. Ibaratnya, masyarakat seperti sudah kehilangan akhlak dan moralnya.
Celakanya lagi, penyakit masyarakat ini bahkan sempat mewabah di kalangan kerabat
kerajaan menyusul terlibatnya salah seorang anak raja Tindalun.
Kabarnya, pasangan selingkuh anak raja Tindalun dimaksud adalah anak
gadis dari salah seorang tetua adat setempat. Yang akhirnya, pada malam
kejadian itu, ketika kedua anak manusia ini sedang hanyut dalam kenikmatan
hubungan intim di luar nikah, sekonyong-konyong datang bencana yang
memporakporandakan wilayah kerajaan Tindalun. Rupanya Tuhan telah menunjukkan
murkanya. Mereka yang selama ini tak mau lagi mendengar titah rajanya, dan gemar
melakukan hubungan intim di luar nikah, semua dilaknat menjadi bukit-bukit. Di
antaranya ada yang menyerupai kelamin wanita.
Gunung yang menghadap ke barat dan terletak di
sebelah timur Gunung Bambapuang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan
Buttu Kabobong. Sedangkan pada sebelah barat Buttu Kabobong, terdapat pula
gunung yang menjorok ke seberang menghampiri pusat Buttu Kabobong. Gunung ini
bentuknya menyerupai “maaf” alat kelamin laki-laki. Antara kedua gunung ini
dibatasi oleh sebuah anak sungai.
Demikian sekelumit legenda tentang Buttu Kabobong, yang jika ditelaah,
sesungguhnya mempunyai pesan moral agar umat manusia di mana pun, tidak
melakukan hubungan suami istri di luar nikah. Karena hal itu merupakan
perbuatan zinah yang sangat dilarang oleh agama. Hukumnya adalah dosa besar.
Gambar Gunung Nona Enrekang
D. Toraja Missiliana Hotel
Perjalanan panjang dan cukup melelahkan terobati sudah setelah kami
sampai di Toraja Missiliana Hotel. Hari sudah gelap sambutan senyum hangat para
petugas hotel, saputangan handuk hangat untuk menyeka wajah kami yang seharian
diperjalanan sangat menyegarkan ditambah jus markisa khas Tana Toraja ikut
menyapa indra pengecap kami dengan ramah. Alhamdulillah saatnya beristirahat.
Tempat beristirahat selama
satu malam
Bersama Bu Wiwik pagi
hari di halaman hotel sebelum melanjutkan perjalanan
Pagi hari di Toraja
Missiliana Hotel
Replika Tongkonan Toraja
Missiliana Hotel
Di depan replika tongkonan
Toraja Missiliana Hotel
Lukisan pada dinding
tongkonan
E. Welcome To Toraja
Setelah
beristirahat satu malam di Toraja Missiliana Hotel, kamis pagi 03 September
2015 kami lanjutkan perjalanan ke Tana Toraja, tujuan kami mengunjungi Kanbira
( kuburan bayi dalam pohon ), Lemo ( pemakaman diatas tebing ) dan Ketekessu (
pemakaman khas suku toraja ).
Keindahan
alam Tana Toraja mengiringi perjalanan kami. Daeng Mursyid kembali menemani
perjalanan kami dengan pengantar ceritanya tentang Toraja baik dari asal- usul
masyarakatnya, budayanya, adat istiadatnya, sempat terbersit dalam pemikiran
saya, sang daeng ini seperti kamus berjalan yang banyak menyimpan informasi
ragam budaya yang tersimpan di pulau Celebes ini.
Sebelum saya lebih lanjut memaparkan
tentang kanbira, lemo dan ketekessu mari sejenak baca tentang paparan Toraja
dari nara sumber tourist guide kami, yang dengan lugas , jelas namun santai,
sehingga kami tetap fokus mengikuti dan mendengarkan, mari lanjutkan untuk
membaca semakin lama insyaallah semakin menarik.
Suku Toraja adalah suku yang menetap di
pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya
masih tinggal di Kabupaten Tana
Toraja, Kabupaten Toraja
Utara, dan Kabupaten Mamasa.
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam
dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo.
Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang
yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun
1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan
dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di
desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia
luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda
datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar
pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang
pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun
1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan
tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan
mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
Suku
Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai
sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah
dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara
desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai
praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah
untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih
banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis,
suku Makassar, dan suku Mandar
yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama
suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja.
Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis
(meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku
Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja (petani di dataran
tinggi).
Dulu
ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin,
terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku
Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok
penutur bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di
wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde
Oost-Indische Compagnie
(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi
tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki
sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir
terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di
antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut
animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an,
misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah
kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar
wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan
subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan
Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat
perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan budak
yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran
rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada
tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit
masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak
budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.
Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen
Penduduk Muslim di dataran rendah
menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin
beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965
setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya
yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak
orang Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden
mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima
agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan,
Katolik,
Hindu
dan Buddha.
Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku
Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai
dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi.
Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Demikian sekelumit tentang Toraja,
tidak heran kalau di Toraja sendiri jarang bahkan tidak ditemui Masjid atau
Mushola, karena begitu kuatnya Kristen yang dibawa oleh para missionaries
disana, semoga dikemudian hari islam akan Berjaya di tana toraja, amin.
Pagi hari sekitar pukul 09.28 kami sampai
dipemukiman suku toraja, kami
mengunjungi Kanbira ( kuburan bayi dalam pohon ), menurut keterangan
warga setempat Kanbira terakhir untuk pemakaman bayi pada tahun 1958, setelah
kristenisasi masyarakat toraja mulai mengubur bayinya yang meninggal ditanah .
Kayu Cempedak yang sudah berumur ratusan tahun sebagai Kanbira, mereka
masyarakat Toraja percaya getah
kayu tersebut adalah sumber asi untuk para bayi yang dikuburkan dalam
batangnya. Semakin tinggi letak makam
bayi semakin tinggi pula kasta keluarganya.
Menurut keterangan dari seorang nenek
warga sekitar yang kami temui Kanbira
sempat akan ditebang dan diteliti oleh warga negara asing yang berkunjung,
beruntunglah pemerintah melindungi cagar budaya ini sehingga para generasi
penerus masih bisa melihat warisan budaya leluhurnya.
KANBIRA ( Pemakaman bayi
dalam pohon )
Nenek
asli suku toraja yang kami temui di Kanbira yang bercerita banyak tentang
Kanbira
Perjalanan kami lanjutkan ke Lemo sebuah pemakaman diatas
tebing , selama ini saya hanya menyaksikan dari televisi, seperti mimpi rasanya
bisa berada disana, langsung melihat dan menyaksikan sendiri. Desa Lemo memiliki keunikan
tersendiri. Tongkonan dan kubur batu yang berada di tebing curam menjadi daya
tarik desa ini.
Dalam
masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan
berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara
pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman
yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan
orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman
yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang
luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung
padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru
digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak
kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku
Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba
tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah,
atau akhirat).
Dalam masa penungguan itu, jenazah
dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah
orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai,
setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Rambu Solo adalah upacara adat kematian
masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah
orang yang meninggal dunia menuju alam roh,yaitu kembali kepada keabadian
bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering
juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru
dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi.
Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang
sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup,
yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman
bahkan selalu diajak berbicara.
Puncak dari upacara Rambu solo ini
dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat beberapa
rangkaian ritual,seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornament dari
benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk
disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Selain itu, dalam upacara adat ini
terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu kerbau, kerbau-kerbau
yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki.
Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja.
Kerbau yang disembelih dengan cara menebas
leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat
TanaToraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa,
tetapi kerbau bule Tedong Bonga yang harganya berkisar antara 10 - 50 juta atau lebih per ekornya.
Bersama ‘Tasya’ teman
kecil dari Lemo tanatoraja
Pembuat tau- tau
atau orang- orangan
yang telah meninggal
di Lemo
Tau-tau
di Lemo
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat
toraja hidup dan tumbuh dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi
tau. Filosofi tau dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia
sama dengan "tau" dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks
masyarakat toraja. Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan
setiap masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) -
Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai luhur,
agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas
tidak dapat di tafsirkan secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam
daripada pemahaman kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang
sesungguhnya ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau
Ketekessu
tujuan kami berikutnya …
Kete Kesu adalah suatu desa wisata di
kawasan Tana Toraja yang dikenal karena adat dan kehidupan
tradisional masyarakat dapat ditemukan di kawasan ini. Di dalam Kete Kesu
terdapat peninggalan purbakala berupa kuburan batu yang diperkirakan berusia
500 tahun lebih. Di dalam kubur batu yang menyerupai sampan
atau perahu tersebut, tersimpan sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia. Hampir
semua kubur batu diletakkan menggantung di tebing atau gua. Selain itu, di
beberapa tempat juga terlihat kuburan megah milik bangsawan yang telah
meninggal dunia
Kuburan adat di Ketekessu
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja
yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah,
hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon
("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial
suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam
kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga
diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur
mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah
tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan
layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga
yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Pengrajin benda seni khas
toraja banyak kita temui di Ketekessu
Saatnya
kami untuk kembali ke Makasar, melanjutkan perjalanan berikutnya. Hari mulai
menjelang sore kami menuruni daerah Kabupaten Enrekang, ucapkan selamat tinggal
pada kokohnya gunung Bambapuang yang dipangkuannya terhampar gunung nona atau
buttu kabobong, hanya sang maha kuasa yang mengetahui kapan lagi kaki ini
dapat menginjak belahan bumi ciptaan-Nya yang sangat mulia
kecantikannya. Sempat dalam perjalanan ibu Direktur kami mengenalkan kembali
sekaligus mengajak kami mencoba kuliner khas tanah kelahirannya, yaitu kue “
depatetekan” sejenis dengan kue ‘ cucur’ di pulau jawa. Perjalanan panjang
kembali dimulai, walaupun mobil yang mengantar kami sempat merajuk alias mogok
akhirnya tepat pukul 02.07 WITA dini
hari sampailah kami ditempat istirahat kedua
tidak jauh dari lokasi wisata Pantai Losari. Alhamdulillah saatnya
beristirahat untuk bersiap kembali melewati perjalanan berikutnya.
Bambapuang -
Enrekang
F. ‘Amazing School’ SIT Al Fityan Gowa Makasar
Sebelum kami pergi beristirahat malam tadi
Bu Nisa berpesan ‘ besok pagi jangan
lupa berkumpul jam tujuh ya, tanpa dipanggil- panggil lagi, sekarang langsung
istirahat, tidur”. Semakin dekat semakin saya mengenal sosoknya , wanita Bugis
cantik berkarakter kuat, saya diberikan Allah SWT kesempatan untuk melihat apa
yang tidak terlihat dari sosok beliau, tawa lepasnya, keceriaannya, kehangatan
sikapnya, dan hal lain dari beliau yang cukup untuk saya simpan sendiri dalam
memori saya, Ibu Nisa semoga Allah SWT memberkahi anda dan keluarga, amin.
Pagi hari Jumat, 04 Sept 2015 di udara
Makasar, setelah sarapan pagi kami bersiap mengunjungi SIT Al Fityan Gowa
Makasar. Bersiap dengan pakaian resmi bersepatu dan membawa kelengkapan untuk
study banding. Bismillah.
AFISGO
(AlFityan
School Gowa )
Sekolah Al Fityan cabang Gowa Makasar ini
tergolong masih berusia muda, tepatnya pada tahun 2009 diresmikan, dalam
deskripsi perjalanan pendidikan ini saya sebut Al Fityan Gowa dengan AFISGO agar terasa lebih ringkas
dan unik.
Yayasan Al Fityan adalah sebuah lembaga
yang memulai aktivitasnya pada tahun 2005 merupakan lembaga pendidikan
nonprofit, fokus pada penyiapan generasi rabbani dimasa mendatang, Tanggerang
adalah komplek pendidikan pertama yang dibangun oleh Yayasan Al Fityan
Indonesia. Memiliki sarana berupa gedung berlantai 4 asrama anak yatim beserta
ruang makan dan lapangan bermain serta sebuah masjid, menjadikan komplek
pendidikan yang cukup mumpuni secara fasilitas. Kehadirannya sebagai lembaga
pendidikan menjadi sekolah alternative ditengah- tengah masyarakat dengan
menawarkan konsep integralisasi pembelajaran nasional dan pembelajaran nilai
karakter.
Seiring berjalannya waktu dalam hitungan
yang cukup singkat namun sangat pesat perkembangannya yayasan al fityan
berhasil mendirikan al fityan - al fityan baru di empat pulau besar Indonesia,
Aceh, Medan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan menyusul akan dibuka tiga Al
Fityan baru di pulau jawa, ladang dakwah semakin meluas dengan ketawadhuan
Visinya yang sangat membumi namun hasil tujuannya jauh sampai kelangit, sangat
visioner
Kami diterima di aula ruang rapat AFISGO
AFISGO Sulawesi selatan diresmikan tahun
2009 awalnya hanya memiliki tanah seluas 6041 meter persegi dengan total luas
bangunan 6000 meter persegi terdiri dari asrama dan dua gedung kelas serta masjid. AFISGO
memiliki Divisi yang sangat banyak manfaatnya untuk umat yang dinamakan Dompet
Sosial Al Fityan , Divisi ini melibatkan seluruh civitas akademika al fityan
dan masyarakat sekitar, sementara lembaga pendidikannya fokus pada pengembangan
mutu dan pengembangan pendidikan.
Visi AFISGO adalah menjadi lembaga
pendidikan yang terdepan dan unggul dalam pengajaran, pendidikan dan administrasi
se Indonesia. Terkesan sangat membumi
namun hasilnya luar biasa. Hal ini terbukti dari pesatnya perkembangan AFISGO
dilihat dari segi proses pendidikan dan administrasinya, kerapihan pengarsipan
setiap dokumentasi disana sangat terlihat sistematis, dan makna unggul dalam
visinya selalu dijaga dan selalu berusaha diwujudkan. Teladan sikap
tawadhu para pimpinan AFISGO mewarnai
sikap setiap gurunya baik dari ucapan lisan maupun bahasa tubuh.
BersamaTIM
Pengembang Kurikulum AFISGO
Misi AFISGO adalah memberikan kontribusi
terbaik dalam pengembangan masyarakat melalui pembinaan warga Negara Indonesia
yang saleh dengan berlandaskan budaya ilmiah.
AFISGO memiliki
tujuan yaitu
·
Meningkatkan keimanan dan pensucian jiwa dengan ibadah hati dan
menguatkan hubungan dengan Allah Ta’ala
·
Memberikan perhatian terhadap Al Quran baik bacaan, hafalan dan
pemahaman
·
Memberikan kepedulian terhadap pengajaran bahasa arab bagi yang
tidak berbahasa arab dan memotivasi mereka untuk bercakap dengan bahasa arab
·
Berupaya meningkatkan kesadaran umum, menumbuhkan wawasan
keislaman dan memotivasi belajar ilmu-ilmu syariah
·
Membina kader pemimpin di daerah dari peserta didik yang
berprestasi dan berbakat
·
Menyebarkan pemikiran islam moderat
·
Berkontribusi dalam menguatkan nilai- nilai keimanan dengan
mengedepankan dialog dan menghormati hak- hak peserta
·
Mengembangkan yayasan secara berkesinambugan yang menjamin
adanya peningkatan kegiatan pendidikan
·
Berinteraksi dengan pembaharuan zaman dan perubahan- perubahannya
yang tidak berbenturan dengan hal- hal baku dalam syariat dan karakteristik
yang diakui dimasing- masing cabang
AFISGO memiliki target pembentukan pribadi
diantaranya beraqidah lurus, beribadah dengan benar, memiliki fisik yang sehat
dan kuat, dan berakhlak mulia.
Bersama para peserta didik kelas dua AFISGO
Dompet Sosial AFISGO memiliki Visi
‘menjadikan dompet sosial al fityan sebagai pengemban amanah ummat dalam
menghimpun dan memberdayakan ZISWAF’.
Misi
Dompet Sosial AFISGO diantaranya
1.
Menghimpun dan mendayagunakan ZISWAF untuk mengembangkan potensi
masyarakat menuju kemandirian
2.
Mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, perusahaan,
pemerintah dan LSM dalam dan luar negri
3.
Memberikan edukasi dan layanan kepada masyarakat secara cepat,
tepat dan menyeluruh
Program
Dompet Sosial AFISGO diantaranya
1.
Pemberian santunan kepada anak yatim
2.
Program beasiswa
3.
Penyaluran bantuan bencana alam dan kebakaran
4.
Pelayanan pengobatan dhuafa
5.
Perbaikan tempat ibadah ( fisik dan non fisik)
6.
Pelatihan dai imam masjid, dan pengurusan jenazah
7.
Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah ( UKM )
Gambar kegiatan selama kunjungan di AFIGOS
Setengah hari bersama AFIGOS banyak hal
baru yang kami dapatkan, dilihat dari proses pendidikan tidak jauh berbeda
dengan sekolah kami, ada keunggulan yang dapat dicontoh dari AFIGOS diantaranya
cara mereka mengelola dan menjalankan dompet sosialnya bisa dicontoh, usianya
yang lebih muda dari FH namun perkembangannya cukup pesat, ditangani oleh para
professional muda yang berkemampuan dibidangnya dengan teladan karakter santun,
tawadhu yang tetap terjaga. Semoga kedepan sekolah tercinta kita Fitrah Hanniah
bisa mewujudkan sesuatu yang bermanfaat
bagi umat baik melalui proram pendidikannya maupun program lainya yang sudah
ada di Fitrah Hanniah. Insya Allah, amin.
Selesai shalat jumat dan menikmati Kapurung kuliner khas
Makasar kami melanjutkan perjalanan menuju Fort Rotterdam atau disebut juga
benteng punyuah artinya benteng penyu…let’s go
G.
Benteng
Punyuah ( Fort Rotterdam )
Benteng
Rotterdam atau benteng punyuah atau benteng penyu tidak
dapat dipisahkan dari sejarah Sulawesi Selatan, merupakan situs sejarah
yang letaknya di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dan salah-satu
obyek wisata sejarah yang paling mudah dijangkau . Konon Khabarnya
Benteng-benteng ini dibuat dari tanah liat dan putih telur sebagai pengganti semen.
Benteng Rotterdam salah satu
benteng yang pernah dibangun dan masih terawat hingga kini (bahkan Barbara
Crossette di New York Times menuliskannya sebagai the best preserved Dutch fort
in Asia).
Didalam Benteng Rotterdam dibangunan Museum Negeri La Galigo yang menyimpang peninggalan dari Tana Toraja. (La Galigo diambil dari sebuah epos yang berjudul I La Galigo. merupakan karya sastra kebanggaan orang Bugis .Nama I La Galigo adalah salah satu tokoh ahli sastra di kerajaan Luwu dan Wajo pada abad 14).
Didalam Benteng Rotterdam dibangunan Museum Negeri La Galigo yang menyimpang peninggalan dari Tana Toraja. (La Galigo diambil dari sebuah epos yang berjudul I La Galigo. merupakan karya sastra kebanggaan orang Bugis .Nama I La Galigo adalah salah satu tokoh ahli sastra di kerajaan Luwu dan Wajo pada abad 14).
Pangeran Diponegoro, pemimpin perang Jawa tahun 1925-1930, pernah
dibuang ke Makassar serta diasingkan selama 26 tahun di Benteng Rotterdam ini. Ada
yang mengatakan bahwa benteng ini didirikan oleh Raja Gowa ke 10 pada tahun
1546. beberapa sumber menyebutkan bahwa pada hari bertepatan dengan 9
agustus 1643 atas perintah Sultan Alauddin , Benteng Ujung Pandang mulai di
dirikan di sebuah ujung yang bernama ujung pandang. pendapat lain Benteng ini
sudah ada jauh sebelumnya . Benteng
ini di sebut juga Benteng Penyu karena bentuknya seperti Penyu tampak dari
atas. Pada tgl 10 Novembar 1634 waktu itu di dalam benteng ini diadakan
upacara membasuh panji panji kebesaran Gowa dengan menggunakan darah. Setelah
perjanjian Bungaya benteng ini jatuh ke tangan Belanda dan oleh Speelman di
sebut dengan FORT ROTTERDAM. Pada masa Jepang Benteng ini berfungsi sebagai
pusat penelitian ilmiah utamanya bahasa dan penelitihan Budaya
Benteng Rotterdam letaknya di pinggir
pantai Kota Makassar, berseberang dengan pelabuhan Sukarno-Hatta, serta
Pelabuhan penyeberangan ke Pulau Kahyangan, kurang lebih 500 meter kearah
selatan terdapat Pantai losari dan Pantai Akarena
Dalam
benteng Rotterdam terdapat museum LA GALIGO yang banyak menyimpan benda sejarah
dan budaya di Sulawesi
La Galigo sebuah Naskah yang manuskripnya
bisa mencapai 2851 halaman ukuran kertas folio. Yang menceritakan Awal mula
kerajaan bumi, Kisah Dewa-Dewi yang berasal dari kerajaan Langit dan kerajaan
bawah air, Kisah Percintaan Abadi, Serta semua kearifan lokal yang terkandung
dalam kebudayaan bugis klasik. Naskah La Galigo ini merupakan epos terpanjang
di dunia yang dimana mengalahkan panjangnya Manuskrip dari India yang dikenal
dengan Mahabarata
Tetapi dalam kebesaran sastra tulis yang
sudah mendunia itu Naskah La Galigo dapat di jumpai di beberapa negara. Naskah
tersebut tidak merupakan satu kesatuan yang utuh akan tetapi naskah tersebut
terpisah-pisah. Hal inilah yang menjadi hambatan bagi para Peneliti Epos La
Galigo. Manuskrip La Galigo bisa di jumpai di Museum La Galigo di Makassar, Di
Perpustakaan Leiden di Belandan, Di Malaysia, dan manuskrip juga masih bisa
kita jumpai pada keluarga-keluarga bugis yang melestarikan epos Tersebut.
Naskah tua yang harganya tak ternilai itu
kebanyakan halamannya hasil dari proses penyalinan (Bukan Naskah Asli)
bukan hanya itu saja banyak potongan episode dalam naskah yang penting itu
hilang dan membuat pembacanya merasa kesulitan untuk menyambung cerita epos
tersebut.
Begitu banyak mitos-mitos dalam naskah ini
yang mungkin tidak pernah kita fikirkan dalam akal sehat manusia tapi itulah
kerendahan hati sebuah epos suci yang di tuliskan dengan hati yang membuat para
para pakar budaya tanah air dan asing tergoda untuk mengungkap rahasi
tersembunyi dalam epos suci kebudayaan bugis klasik. Begitu banyak pakar budaya
yang sudah meneliti epos tersebut tetapi yang mereka bisa ungkap hanya saja
episode Cinta yang terlarang yang dimana Sawerigading mencintai saudara
kembarnya yakni Tenriabeng yang terhalang oleh Adat Istiadat Bugis dan
perjalanan Sawerigading ke Cina. sedangkan ada beberapa Pakar yang mencoba
meneliti sumber awal terjadinya Kerajaan Bumi Dari Turunnya Batara Guru
memimpin Kerajaan Bumi hingga proses terjadinya manusia pertama yang membuat
banyak persepsi yang berbeda-beda
Sudah beratus-ratus tahun Legenda
Masyarakat Bugis ini tercipta dan mungkin masa juga yang akan menjawab dari
misteri Legenda Masyarakat Bugis. La Galigo adalah sebuah misteri yang tak
pernah terungkap.
Keragaman
dan kekhasan budaya , adat istiadat, tersimpan rapi di museum ini , keberkahan
atas kasih sayang Allah sehingga hari ini saya berkesempatan langsung melihat,
menyentuh sekaligus membaca apa yang tersimpan di museum ini, kisah Saweri
Gading seperti membawa saya pada masanya, ada rasa sedih, duka, terharu…
Didepan miniatur rumah diatas sampan
Terbayang masa kecil Umi dan Bu Nisa saat
beliau mencoba sebuah permainan kuno di museum la galigo , melompat, riang
tertawa, bersorak, merasa lucu karena tak lagi selincah dulu saat masa
kecilnya, keceriaan yang takan pernah terlihat saat kami disekolah, terharu
saya menyaksikannya, having fun bu…
H. ULU JUKU RESTO
Sebelum mengakhiri pergantian hari ibu Nisa
mengajak kami bertemu dengan keluarganya sambil menikmati hidangan ala Makasar,
ada satu kalimat yang tertulis besar didepan pintu masuk resto yang sempat
membuat saya tersenyum ketika membacanya dan sampai saat ini saya masih
mengingat kalimat itu…
“harga irit rasa
selangit gedung elit bayarnya dikit”
Memasuki pintu resto…
Memang elit gedungnya
Mulai cicipi menunya…wow
Rasanya memang selangit
Mengenai harga…
Itu yang
belum sempat saya pastikan ???
Mohon Maaf Just Kidding…
aha….andai itu ada di Bekasi bisa saya ajak seluruh keluarga
Fitrah Hanniah kesana…amin,semoga
I.
Pantai Losari
Berbicara masalah keindahan wisata
pantai di Indonesia memang tidak ada habisnya, salah satu pantai yang
menyimpan keindahan alami adalah pantai Losari. Keindahan Pantai Losari
terdengar sampai keseluruh pulau di Indonesia. Pantai yang terletak di Jalan
Penghibur sebelah barat kota Makassar.
Pantai ini menjadi tempat bagi warga Makassar
dan pendatang untuk menghabiskan waktu pada pagi, sore dan malam hari dengan
menikmati pemandangan matahari tenggelam yang sangat indah. Pantai ini memiliki
keunikan dan keistimewaan yang mempesona. Salah satu ciri khas Pantai Losari adalah para pengunjung dapat
menyaksikan Matahari terbit dan terbenam di satu posisi yang sama.
pengunjung juga dapat menikmati indahnya deburan ombak yang memecah
tanggul pantai dan kesejukan angin laut yang bertiup sepoi-sepoi, sambil
menyaksikan detik-detik terbenamnya matahari secara utuh di balik cakrawala,
yaitu mulai dari perubahan warna hingga pergeseran posisinya sampai benar-benar
hilang dari pandangan.
Selain keindahan pantainya Losari juga dikenal sebagai pusat kuliner
yang menjual pangan dan jajanan yang khas. Berbagai macam kuliner lezat
tersedia bagi anda yang suka berburu makan khas. Salah satunya yang digemari di
pantai Losari ini adalah pisang epe.
Pisang mentah yang dibakar kemudian
dipipihkan dan diberi campuran air gula merah ini bisa untuk menghangatkan
badan sambil kita memandangi lautan di pantai Losari. Tapi sayangnya saat kami
disana tidak sempat mencoba kuliner ini.
j.
Rammang – Rammang
Terletak di Dusun Rammang-Rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa,
Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, kami menaiki pete- pete ( angkutan
umum khas Sulawesi )untuk sampai kesana karena mobil kami kembali merajuk alias
mogok, tapi ini menjadi hal menyenangkan dan jarang terjadi karena kami naiki
pete- pete bersama Ibu Direktur kami. Tepatnya dihari sabtu, 05 sept 2015.
Menurut Sumber yang ada, gugusan karts Maros Ramang – ramang ini adalah
pegungungan kapur terluas ke 3 yang berada di dunia setelah Cina dan Vietnam.
Di Indonesia memiliki taman hutan batu yang eksotik indah, hal ini dikarenakan masing-masing
taman hutan batu memiliki karakterisitik dan ciri khas yang berbeda-beda.
Dengan ratusan bahkan mungkin ribuan bebatuan kapur berwarna hitam dan abu-abu
dengan berbagai bentuk dan ukuran, disekitar perbukitan batu terdapat hamparan
sawah penduduk dan di belakangnya terdapat sebuah sungai yaitu Sungai Pute,
ditumbuhi pepohonan hutan dan pepohonan lontar di sekitarnya menambah eksotis
taman hutan batu di Maros ini. Kawasan ini ibarat sebuah kompleks tempat
berkumpulnya bebatuan. Tidak salah rasanya kalau taman hutan batu di
Rammang-Rammang ini adalah salah satu yang terindah di dunia.
Dari sekian keragaman bentuk batuan, beberapa yang sungguh luar biasa
adalah kenampakan karst menara dan pinnacle karst dengan bentuk yang
runcing di Dusun Bontopuru. Bebatuan tersebut menjadi latar belakang yang
kontras di antara sawah-sawah yang luas, genangan sisa rawa, atau kolam-kolam
berhias tumbuhan teratai. Di sekitar Salo Pute. Yang artinya sungai putih,
batuan yang berabrasi oleh air membuat bebatuan menjadi ukiran-ukiran alam
yang unik dan saat melewati rimbunan pohon tak jarang hewan endemik asli tempat
tersebut seperti burung, kera tak berekor, ayam hutan bahkan ular akan
menyambut kedatangan kita.
Selain keindahan pegungungan kapurnya, di tengah pegunungan terdapat
sebuah telaga yang disebut dengan Telaga Bidadari. Telaga ini berada di tengah
bebatuan besar yang mempunyai lubang besar yang menjadi tempat berkumpulnya air
pegungungan. Diperlukan usaha lebih untuk mencapai telaga bidadari ini, yaitu
dengan memanjat tebing dan melewati jalan setapak. Air di Telaga Bidadari ini
merupakan sumber air tawar untuk warga sekitar Rammang-rammang. Disebut telaga
bidadari konon telaga tersebut tempat mandi para bidadari yang turun dari
langit. Tapi sayangnya rombongan kami tidak sampai kesana.
Perpaduan antara batuan karts yang
keabuan, kehijauan sawah warga, rumah-rumah panggung dan genangan air seperti
kolam menjadikan perpaduan landscape pemandangan yang sangat menakjubkan di
Maros Rammang-Rammang.
Menaiki sampan menyusuri
sungai salo pute menuju rammang- rammmang
Keindahan Rammang – Rammang
J.
Bantimurung Bulusaraung
Bantimurung
merupakan sebuah taman nasional yang terletak di kabupaten Maros, berjarak
sekitar 42 km dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Taman Nasional ini
sebenarnya memiliki nama lengkap Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung, namun banyak orang
mengenalnya dengan sebutan TN Bantimurung saja.
TN
Bantimurung Bulusaraung memiliki luas 43.750 hektar, dan wilayahnya berbatasan
dengan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu kabupaten Maros, kabupaten
Pangkep dan Barru di sisi utara, kabupaten Bone di sisi timur, dan Kabupaten
Pangkep di sisi barat.
Taman Nasional ini memang menonjolkan kupu-kupu sebagai
daya tarik utamanya. Di tempat ini sedikitnya ada 20 jenis kupu-kupu yang
dilindungi pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 7/1999. Beberapa spesies unik bahkan hanya terdapat
di Sulawesi Selatan, yaitu Troides Helena Linne, Troides
Hypolitus Cramer, Troides Haliphron Boisduval, Papilo Adamantius,
dan Cethosia Myrana. Antara tahun 1856-1857, Alfred Russel Wallace menghabiskan sebagian hidupnya di kawasan
tersebut untuk meneliti berbagai jenis kupu-kupu. Wallace menyatakan Bantimurung
merupakan The Kingdom of Butterfly (kerajaan kupu-kupu). Menurutnya di
lokasi tersebut terdapat sedikitnya 250 spesies kupu-kupu.
Air terjun Bantimurung memiliki turunan batu besar yang landai sehingga
membuat air tidak mengalir terlalu deras, air turun dengan manis seperti aliran
air yang merembes pelan turun ke bawah. Setelah terbuai dengan keindahan
perbukitan karst di jalan masuk taman nasional, saya kembali terpesona dengan
pemandangan air terjun Bantimurung yang seolah-olah seperti air terjun
khayangan… Masyaallah!
K. Selamat Tinggal Kota
Daeng
Perjalanan
telah selesai
Banyak
pengalaman penuh makna
Kembali
ketempat asal
Dengan
membawa segenap rasa
Ucapan
terimakasih saya sampaikan
Semoga
tulisan ini bermanfaat
salam
Posting Komentar